.
Merdeka.com - Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Andika Prastawa mengatakan, terdapat tiga masalah dalam pengembangan energi surya khususnya untuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap. Seperti formula harga listrik PLTS sebesar 85 persen dari Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik, membuat pengembang berhitung ulang untuk membangun PLTS.
"Yang Peraturan Menteri Nomor 50 2017 itu tentang harga yang 85 persen BPP dan tentang skema BOOT. Itu anggota kami agak kerepotan," kata Andika, di Jakarta, Selasa (30/7).
Permasalahan berikutnya adalah pengembang harus memenuhi Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) sebesar 60 persen, untuk mengikuti proyek PLTS yang di tenderkan pemerintah. Kondisi ini membuat pengembangan EBT terhambat, sebab barang jasa di dalam negeri belum bisa memenuhi seluruh komponen hingga 60 persen.
"Soal yang TKDN itu minimal 60 persen, produk dalam negeri belum sampai. Ini merepotkan kita seperti tadi saya sebutkan residensial costumer kok termajinalkan," tuturnya.
Menurut Andika, perizinan untuk membangun PLTS memang sudah cepat, namun seharusnya pembangunan PLTS dilakukan lebih dahulu baru kemudian pihak pengembang melaporkan. Keluhan ini sudah disampaikan ke pemerintah untuk dibahas antar tingkat Kementerian.
"Kedua tentang pelanggan industri pabrik-pabrik, kalau mau pasang kena paralel charge. Ini semua kami sampaikan," tandasnya.
.
.
Judul: Asosiasi Keluhkan Banyaknya Regulasi Hambat Pembangunan PLTS
Penulis: Pebrianto Eko Wicaksono
Sumber: merdeka.com